BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pembentukan
pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan
struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan
struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi
kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur
kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa
harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang
sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui
proses rekonstruksi.
Yang
terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran,
si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan
pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus
bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara
aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu
mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar
lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi
kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan
teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan
pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak
terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Hakikat
pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan
bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan
tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar
berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna
serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki
pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan
perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Sesuai
dengan tema yang diberikan oleh dosen pembimbing, maka kami juga akan membahas
tentang karakteristik masa depan
manusia yang diterapkan dengan teori konstruktivistik, konstruksi pengetahuan
dan perbandingan pembelajaran tradisional dan pembelajaran konstruktivistik .
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Berdaasarkan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang di bahas
dapat dirumuskan sebagai berikut.
i.
Apa
pengertian dan tujuan dari konstruktivistik?
ii.
Bagaimana
hubungan konstruktivistik dengan teori belajar lain?
iii.
Bagaimana
ciri-ciri pe,belajaran konstruktivistik?
iv.
Apa saja
yang menjadi prinsip konstruktivistik?
v.
Bagaimana
hakikat anak menurut teori belajar konstruktivistik?
vi.
Bagaimana
hakikat pembelajaran menurut teori belajar konstruktivisme?
vii.
Apa
implikasi konstruktivistik pada pembelajaran?
viii.
Bagaimana
teori belajar konstruktivistik dan penerapannya dalam pembelajaran?
ix.
Apa
kelebihan dan kelemahan teori konstruktivistik?
1.3 TUJUAN
Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut.
i.
Untuk mengetahui
pengertian dan tujuan dari konstruktivistik?
ii.
Untuk
mengetahui hubungan konstruktivistik dengan teori belajar lain?
iii.
Untuk
mengetahui ciri-ciri pe,belajaran konstruktivistik?
iv.
Untuk
mengetahui saja yang menjadi prinsip konstruktivistik?
v.
Untuk mengetahui
hakikat anak menurut teori belajar konstruktivistik?
vi.
Untuk
mengetahui hakikat pembelajaran menurut teori belajar konstruktivisme?
vii.
Untuk
mengetahui implikasi konstruktivistik pada pembelajaran?
viii.
Untuk
mengetahui teori belajar konstruktivistik dan penerapannya dalam pembelajaran?
ix.
Untuk
mengetahui kelebihan dan kelemahan teori konstruktivistik?
1.4
KETERBATASAN
Agar makalah
ini tidak keluar jalur dari pembahasan teori ini, maka perlu adanya
keterbatasan masalah sebagai berikut:
1.
Pengertian teori konstruktivistik
2. Pandangan
terhadap pembelajaran
3.
Implementasi dalam pembelajaran
4. Perbedaan
pembelajaran konstruktivistik dengan pembelajaran tradisional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
DAN TUJUAN KONSTRUKTIVISME
Menurut
faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang
mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada
orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang
diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi
proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga
terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu
berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus
(Suparno, 1997).
Kontruksi
berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme
adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.
Konstruktivisme
merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas
melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.
Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata.
Sedangkan
menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar yang dibangun
atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri.sedangkan
teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap
manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk
menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang
lain
Dari
keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan
keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi,
pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan
dirinya sendiri
Adapun
tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
1.Adanya
motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri
pertanyaannya.
2. Membantu
siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
3.Mengembangkan
kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri. Lebih menekankan pada
proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu
teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme
adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar
tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap
perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan
intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya,
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan
bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi
baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133).
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema
yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis
ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi
suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh
Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan
Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua
konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding.
·
Zone of Proximal Development (ZPD)
merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan
potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih
mampu.
o
Scaffolding merupakan
pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran,
kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih
tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997).
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar
dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan,
peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan
contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan
yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial)
disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial
memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi
matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem
posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb,
Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism),
siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada
pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon
masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat
sesuai dengan karakteristik RME.
2.2 HUBUNGAN
KONSTRUKTIVISME DENGAN TEORI BELAJAR LAIN
Selama 20
tahun terakhir ini konstruktivisme telah banyak mempengaruhi pendidikan Sains
dan Matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia. Inti teori ini
berkaitan dengan beberapa teori belajar seperti teori Perubahan Konsep, Teori
Belajar Bermakna dan Ausuble, dan Teori Skema.
·
Teori Belajar Konsep
Dalam banyak
penelitian diungkapkan bahwa teori petubahan konsep ini dipengaruhi atau
didasari oleh filsafat kostruktivisme. Konstruktivisme yang menekankan bahwa
pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep
yang menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat
berperan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam menangkap
suatu konsep yang ia pelajari. Kostruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana
siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat.
Dengan
demikian, seorang pendidik dibantu untuk mengarahkan sisiwa dalam pembentukan
pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu
karena mendorong pendidik agar menciptakan suasana dan keadaan yang
memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada murid sehingga pemahaman mereka
lebih sesuai dengan ilmuan. Konstrutivisme dan Teori Perubahan Konsep memberikan
pengertian bahwa setiap orang dapat membentuk pengertian yang berbeda tersebut
bukanlah akhir pengembangan karena setiap kali mereka masih dapat mengubah
pengertiannya sehingga lebih sesuai dengan pengertian ilmuan. “Salah pengrtian”
dalam memahami sesuatu, menurut Teori Konstruktivisme dan teori Perubahan
Konsep, bukanlah akhir dari segala-galanyamelainkan justru menjadi awal untuk
pengembangan yang lebih baik.
·
Teori Bermakna Ausubel
Menurut
Ausubel, seseorang belajar denga mengasosiasikan fenomena baru ke dalam sekema
yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan sekema
yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi
apa yang ia pelajari sendiri.
Teori
Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya
menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan
fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya
menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian
yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu
siswa aktif.
·
Teori Skema.
Menurut
teori ini, pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau sekema yang
terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan bahwa
pengetahuan kita itu tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan
kita. Dalam belajar, kita dapat menambah skema yang ada sihingga dapa t menjadi
lebih luas dan berkembang.
·
Konstrtivisme, Behaviorisme, dan
Maturasionisme
Konstruktivisme
berbeda dengan Behavorisme dan Maturasionisme. Bila Behaviorisme menekankan
keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivime lebih menekankan
pengembangan konsep dan pengertian yang mendalam. Bila Maturasionisme lebih
menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan langkah–langkah
perkembangan kedewasaan. Konstruktivisme lebih menekankan pengetahuan sebagai
konstruksi aktif sibelajar. Dalam pengertian Maturasionisme, bila seseorang
mengikuti perkembangan pengetahuan yang ada, dengan sendirinya ia akan
menemukan pengetahuan yang lengkap. Menurut Konstruktivisme, bla seseorang
tidak mengkonstruktiviskan pengetahuan secara aktif, meskipun ia berumur tua
akan tetap tidakakan berkembang pengetahuannya.
Dalam teori
ini kreatifitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri
dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis
menganalisis sesuatu hal karena mereka berfikir dan bukan meniru saja.
Kadang–kadang orang menganggap bahwa konstruktivisme sama dengan Teori
Pencarian Sendiri (Inguiry Approach) dalam belajar. Sebenarnya kalau kita lihat
secara teliti, kedua teori ini tidak sama. Dalam banyak hal mereka punya
kesamaan,seperti penekanan keaktifan siswa untuk memenuhi suatu hal. Dapat
terjadi bahwa metode pencarian sendiri memang merupakan metode konstruktivisme
tetapi tidak semua semua konstruktivis dengan metode pencarian sendiri. Dalam
konstruktivisme terlibih yang personal sosial, justru dikembangkan belajar
bersama dalam kelompok. Hal ini yang tidak ada dalam metode mencari sendiri.
Bahkan, dalam praktek metode pencarian sendiri tidak memungkinkan siswa
mengkonstruk pengetahuan sendiri, karena langkah-langkah pencarian dan
bagaimana pencarian dilaporkan dan dirumuskan sudah dituliskan sebelumnya.
2.3 CIRI-CIRI
PEMBELAJARAN SECARA KONSTUKTIVISME
Adapun ciri
– ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah
i.
Memberi peluang kepada murid membina
pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenar
ii.
Menggalakkan soalan/idea yang dimul
akan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
iii.
Menyokong pembelajaran secara koperatif
Mengambilkira sikap dan pembawaan murid
iv.
Mengambilkira dapatan kajian
bagaimana murid belajar sesuatu ide
v.
Menggalakkan & menerima daya
usaha & autonomi murid
vi.
Menggalakkan murid bertanya dan
berdialog dengan murid & guru
vii.
Menganggap pembelajaran sebagai
suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
viii.
Menggalakkan proses inkuiri murid
mel alui kajian dan eksperimen.
2.4 PRINSIP-PRINSIP
KONSTRUKTIVISME
Secara garis
besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar
adalah:
i.
Pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri
ii.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan
dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
iii.
Murid aktif megkontruksi secara
terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
iv.
Guru sekedar membantu menyediakan
saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
v.
Menghadapi masalah yang relevan
dengan siswa
vi.
Struktur pembalajaran seputar konsep
utama pentingnya sebuah pertanyaan
vii.
Mmencari dan menilai pendapat siswa
viii.
Menyesuaikan kurikulum untuk
menanggapi anggapan siswa.
Dari semua
itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya
semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun
pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini
dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan
sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari
dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat
memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat
membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
2.5
HAKIKAT ANAK MENURUT TEORI BELAJAR
KONSTRUKTIVISME
Piaget
mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang,
melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada
seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan
tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999:
61).
Dari
pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa
pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan
dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver
dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik
sebagai berikut:
i.
siswa tidak dipandang sebagai
sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.
ii.
belajar mempertimbangkan seoptimal
mungkin proses keterlibatan siswa.
iii.
pengetahuan bukan sesuatu yang
datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal.
iv.
pembelajaran bukanlah transmisi
pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
v.
kurikulum bukanlah sekedar
dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan
tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi
sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk
mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba
dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan
faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut
adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap
perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan;
i.
perkembangan intelektual terjadi
melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama.
Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan
urutan yang sama.
ii.
tahap-tahap tersebut didefinisikan
sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan,
pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan
adanya tingkah laku intelektual.
iii.
gerak melalui tahap-tahap tersebut
dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan
tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang
timbul (akomodasi).
Berbeda
dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi
dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar
lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999:
62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang
penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun
implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut:
a)
tujuan pendidikan menurut teori
belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki
kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
b)
kurikulum dirancang sedemikian rupa
sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat
dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah
seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
c)
peserta didik diharapkan selalu
aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah
berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang
kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
2.6
HAKIKAT PEMBELAJARAN MENURUT TEORI
BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata
lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kcil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan
dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori
belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalahperan aktif siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat
kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah
mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley
(1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak
dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua
pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu
pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4)
mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar
itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk
mempelajari suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu
dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika tersebut.
Selain
penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya
dengan pembelajaran matematika, yaitu:
a)
siswa mengkonstruksi pengetahuan
matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki.
b)
matematika menjadi lebih bermakna
karena siswa mengerti.
c)
strategi siswa lebih bernilai.
d)
siswa mempunyai kesempatan untuk
berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya
Dalam upaya
mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan
beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
a)
memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.
b)
memberi kesempatan kepada siswa
untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan
imajinatif.
c)
memberi kesempatan kepada siswa
untuk mencoba gagasan baru.
d)
memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
e)
mendorong siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan mereka.
f)
menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.
2.7 PROSES
BELAJAR MENURUT KONSTRUKVISTIK
Pada bagian
ini akan dibahas proses belajar dari pandangan kontruktifistik dan dari
aspek-aspek si belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
1.
Proses belajar kontruktivistik
secara konseptual proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan
sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri
siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara
pada pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari
segi rosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang
terlepas-lepas.
2.
Peranan siswa. Menurut pandangan ini
belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus
dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir,
menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru
memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi
peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan
adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
3.
Peranan guru. Dalam pendekatan ini
guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan
oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sebdiri.
4.
Sarana belajar. Pendekatan ini
menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa
dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan,
media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu
pembentukan tersebut.
5.
Evaluasi. Pandangan ini mengemukakan
bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan
interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan, serta
aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
2.8
IMPLIKASI KONSTRUKTIVISME PADA PEMBELAJARAN
1. Tujuan Pembelajaran
Tujuan
pembelajaran lebih di orientasikan pada upaya membantu mahasiswa untuk
membangun pengetahuannya sendiri melalui proses internalisasi, pembentukan kembali,
dan transformasi informasi yang telah di perolehnya agar menjadi pengetahuan
baru.
Dengan
demikian tujuan pembelajaran adalah membangun pemahaman. Pemahaman dinilai
penting, karena pemahaman akan memberikan makna kepada yang dipelajari. Dengan
demikan dalam pengembangan initidak memiliki tujuan pembelajaran dan performasi
internal pada isi (misalnya menggunakan prosedur sebagaimana ynag digambarkan
dalam CDT Merril dalam Reigelut : 1983) tetapi lebih mencari tugas autentik.
2. Isi Pembelajaran
Dalam
pandangan konstruktisme, dosen tidak dapat menentukan secara spesifik isi atau
bahan yang harus dipelajari oleh mahasiswa, tetapi hanya sebatas memberikan
rambu-rambu bahan pembelajaran yang sifatnya umum.
Dalam
belajar secara konstruktivis, mahasiswa harus membentuk pengertian dari
berbagai sudut pandang, maka dalam proses belajarnya tidak bisa dipisahkan
dengan dunia rill dan informasi dari berbagai sumber
3. Strategi Pembelajaran
Tugas dosen
adalah menfasilitasi mahasiswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai
dengan situasi kongkrit, maka strategi pembelajaran yang di gunakan perlu
disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi mahasiswa.
Menurut
Merill (1991), pandangan konstruktisme mementingan pengembangan lingkungan
belajar yang meningkatkan pembentukan pengertian dari perspektif ganda dan
informasi yang efektif atau kontrol eksternal yang teliti dari
peristiwa-peristiwa yang ketat dihindari sama sekali. Untuk maksud tersebut,
dosen perlu melakukan hal-hal berikut :
1.
Menyajikan masalah-masalah aktual
dalam konteks yang sesuai dengan tingkat perkebangannya
2.
Pembelajaran disktrukturkan di
sekitar konsep-konsep primer
3.
Memberi dorongan kepada mahasiswa
untuk mengajukan pertanyaan sendiri.
4.
Memberanikan mahasiswa untuk
menemukan jawaban dari pertanyaan sendiri
5.
Memberanikan mahasiswa mengemukakan
pendapat dan mengahargai sudut pandangnya
6.
Menentang mahasiswa untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam, bukan sekedar menyelesaikan tugas.
7.
Menganjurkan mahasiswa bekerja
secara kolaborasi
8.
Mendorong mahasiswa untuk berani
menerima tanggung jawab
9.
Menilai proses dan hasil belajar
mahasiswa dala konteks pembelajaran
4. Sumber Belajar
Sumber-sumber
belajar yang dianjurkan adalah sumber belajar yang berupa :
1.
Data atau informasi yang berasal
dari sumber-sumber primer
2.
Bahan-bahan yang dapat
dimanipulasikan sehingga mahasiswa dapat mengadakan interaksi dengan
bahan-bahan tersebut.
Sumber-sumber
belajar yang dapat dirancang untuk kepentingan pembelajaran (by desain) maupun
sumber belajar yang tidak sengaja di rancang untuk pembelajaran (by
utilization)
5. Penataan Lingkungan
Menurut
wilson (1996), penataan lingkungan belajar berdasar pandangan konstruktivisme :
1.
Menyediakan pengalaman belaar
melalui proses menyediakan pengalaman belajar melalui proses pembentukan
pengetahuan dalam mana mahasiswa ikut menentukan topik/sub topik bidang studi
yang dipelajari metode pembelajaran
2.
Menyediakan pengalaman belajar yang
kaya akan alternatif seperti peninjauan masalah dari berbagai segi.
3.
Menginstegrasikan proses belajar
dalam konteks yang nyata dar relaven dengan harapan mahasiswa dapat menerapkan
pengetahuan yang didapat dalam hidup sehari-hari
4.
Memberikan kesempatan mahasiswa
untuk menentukan isi dan arah belajar mereka dengan menempatkan dosen sebagai
konsultan.
5.
Mengintegrasikan belajar dengan
pengalaman bersosialisasi agar terjadi peningkatan interaksi antara dosen
dengan mahasiswa dan antar mahasiswa sendiri
6.
Meningkatkan penggunanan berbagai
sumber belajar disamping komunikasi tertulis dan lisan
7.
Meningkatkan kesadaran mahasiswa
dalam proses pembetukan pengetahuan mereka agar mahasiswa mampu menjelaskan
mengapa dan bagaimana mereka memecahkan masalah dengan cara tertentu
6. Hubungan Guru-Siswa
Dalam hal
ini hubungan dosen dan mahasiswa lebih sebagai mitra yang bersama-sama
membangun pengetahuan. Brooks (1993), mengidntifikasi sejumlah karakteristik
hubungan dosen-mahasiswa dalam pembelajaran
1.
Hubungan antara dosen-mahasiswa
diupayakan terjadi secara optimal
2.
Pembelajaran perlu difokuskan pada
kemampuan mahasiswa untuk menguasai konsep dan mengutarakan pandangannnya
3.
Evaluasi mahasiswa terintergensi
dalam proses pembelajaran melalui observasi terhadap mahasiswa yang umum nya
bekerja kelompok
4.
Aktivitas mahasiswa lebih ditekankan
pada pengembangan generalisasi dan demonstrasi
5.
Aktivitasi pembelajaran relatif
tergantung pada isi yang menyebabkan mahasiswa berpikir.
7. Evaluasi
Evaluasi
lebih ditekankan pada proses belajarnya mahasiswa. Dosen perlu menentukan
tujuan pembelajaran, apakah ingin memperkembangkan kemmapuan berfikir atau
sekedar dapat menangani prosedur standar dan memebrikan jawaban standar
terbatas. Instrumen evaluasi dipergunankan antara lain adalah berupa :
1.
Observasi terhadap kegiatan yang
dilakukan oleh mahasiswa
2.
Hasil karya mahasiswa
3.
Portopolio atau kumpulan dukumen
tentang kegiatan mahasiswa
4.
Performasi mahasiswa dalam menyajikan
hasil-hasil belajaran
2.9
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TEORI KONSTRUTIVISME
1.
Kelebihan
i.
Berfikir dalam proses membina
pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat
keputusan.
ii.
Faham :Oleh kerana murid terlibat
secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan
boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
iii.
Ingat :Oleh kerana murid terlibat
secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin
Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka
lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
iv.
Kemahiran sosial :Kemahiran sosial
diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan
baru.
v.
Seronok :Oleh kerana mereka terlibat
secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka
mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
2.
Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau
kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru
sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung, apabila ada siswa yang
pasif pembelajaran konstruktivistik ini tidak cocok untuk siswa pasif, siswa
belajar secara konsep dasar tidak pada ketrampilan dari siswa itu sendiri, dalam
pembelajarannya tidak memusatkan pada kurikulum yang ada.
2.10 TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK DAN PENERAPANNYA
DALAM PEMBELAJARAN
Pada bagian
ini dikaji tentang pandangan konstruktivistik terhadap proses belajar dan
aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran. Pembahasan diarahkan pada hal-hal
seperti, karakteristik manusia masa depan yang diharapkan, konstruksi
pengetahuan, dan proses belajar menurut teori konstruktivistis. Kajian diakhiri
dengan memaparkan perbandingan pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan
pembelajaran konstruktivistik.
1.
Karakteristik Manusia Masa
Depan yang Diharapkan
Upaya
membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat
masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki
tersebut adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung
jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek
potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri
dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses … (to) learn to be. Mampu
melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi
kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan,
bearti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun kemudah
tersentuhan hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai
dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan
gubahan Sang Pencipta. Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil
berfikir sendiri di samping proses dan hasil berfikir orang lain, serta
keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu.
Tanggung jawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan
serta tindakan sendiri. Kolaborasi, bearti disamping mampu berbuat yang terbaik
bagi dirinya sendiri, individu dengan ciri-ciri diatas juga mampu bekerja sama
dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Langkah
strategis bagi perwujudan tujuan diatas adalah adanya layanan ahli kependidikan
yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active learning atau
pendekatan cara belajar siswa aktif didalam pengelolaan kegiatan belajar
mengajar yang mengakui sentralitas peranan siswa didalam proses belajar, adalah
landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang
diharapkan. Pilihan tersebut bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empirik
disamping pilihan masyarakat (Raka Joni, 1990)
Penerapan
ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi
manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya
diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis
pendekatan yang tepat memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan
yang memiliki karakteristik diatas. Kajian terhadap teori belajar
konstruktivistik dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju
kepada tujuan tersebut.
2.
Konstruksi Pengetahuan
Untuk
memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia
belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka
memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan
peristiwa-peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan
menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya.
Demikian juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka
sendiri. Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian
ini akan dibahas teori belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman
tentang apa pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan
antara pengetahuan, realitas, dan kebenaran.
Apa pengetahuan itu? Menurut pendekatan
konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang
sedang dipelajari, melainkan sebagai kunstruksi kognitif seseorang terhadap
objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang
sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya.
Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang
yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan
bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah
mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan
tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya
tentang sesuatu kepada siswa, pentransfer itu akan diinterpretasikan dan
dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka
sendiri.
Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia
dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan inderanya. Melalui interaksinya
dengan objek dan lingkungannya, misalnya dengan melihat, mendengar,menjamah,
mambau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan melainkan sesuatu proses pembentukan.
Semakin banyak seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya,
pengetahuan dan pemahamannya akan objek dan lingkungan tersebut akan meningkat
dan lebih rinci.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada
beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan,
yaitu;
1.
Kemampuan mengingat dan
mengungkapkan kembali pengalaman
2.
Kemampuan membandingkan dan
mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan
3.
Kemampuan untuk lebih menyukai suatu
pengalaman yang satu dari pada lainnya.
Faktor-faktor
yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi
pengetahuan yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif
yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki
seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang.
Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan
mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal
juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah
dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam
dirinya.
3.
Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Proses
belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya
melaui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi
pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Ada beberapa
pandangan dari segi konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan
guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
Proses
belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar
jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang
berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai
pemberian makna oleh siswa kepada pengalamanya melalui proses asimilasi dan
akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan
belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan
pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing
and restructuring of knowledge and skills (schemata) within the
individual in a complex network of increasing conceptual consistency…..”. pemberian
makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara
sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial
yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun diluar kelas. Oleh
sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa
dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan dan lingkungan
belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan
dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
Peranan
Siswa (Si-Belajar). Menurut pandangan konstrktivistik,
belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus
dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir,
menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru
memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi
peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah
lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada
siswa.
Paradigma
konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan
awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar
dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan
awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru,
sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Peranan
Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan
membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar.
Guru hanya membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut
lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belaajar. Guru tidak
dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai
dengan kemauannya.
Peranan
kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
1.
Menumbuhkan kemandiriran dengan
menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2.
Menumbuhkan kemampuan mengambil
keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3.
Menyediakan sistem dukungan yang
memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk
berlatih.
Sarana
belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan
utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan,
lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan
tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya
tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan
terlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri,
kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara
rasional.
Evaluasi
belajar. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa
lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan
interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta
aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan
pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan
penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang
obyektifis konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak
mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery
lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya
reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap,
tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk
menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat
dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh
proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar
merupakan asimilasi objek-objek nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru
tradisional adalah menginterpretasikan kejadian-kejadian nyata yang akan
diberikan kepada para siswanya.
Pandangan
konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang.
Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya.
Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang
mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan
yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa.
Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting
dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata,
dimana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara
individual.
Teori
belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan
informasi kedalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan
mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat
membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia
eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana
mengevaluasinya?
Evaluasinya
belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan
belajar. Sedangkan pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free
evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada
tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi
informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum
proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah.
Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran.
Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas
belajar siswa.
Pembelajaran
dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe
obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil
belajar konstruktivistik lebih cepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free.
Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik,
memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk
evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik,
mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi
seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari
Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman
siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
4.
Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behavioristik) dan Pembelajaran
Konstruktivistik
Proses
pembelajaran akan efektif jika diketahui inti belajar yang
sesungguhnya.Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak
pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi
pelajaran melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan
memberikan respon sesuai dengan materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran,
guru banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang disampaikan sesuai
dengan urutan isi buku teks. Diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama
dengan guru, atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif
perbedaan interpretasi diantara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks
tidak dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan
tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
Ketika
menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa
dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu
yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau
konsep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya.
Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan
penguasaan pengetahuan.
Berbeda
dengan bentuk pembelajaran diatas, pembelajaran konstruktivistik membantu siswa
menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi
dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur
kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami.
Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa
yang dapat diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan
cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang
dapat dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Secara rinci
perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan
pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut:
No.
|
Pembelajaran
tradisional
|
Pembelajaran
konstruktivistik
|
1.
|
Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju
keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar.
|
Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke
bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
|
2.
|
Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah
ditetapkan.
|
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan
pertanyaan dan ide-ide siswa.
|
3.
|
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada
buku teks dan buku kerja.
|
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada
sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
|
4.
|
Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang
dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan
cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa
|
Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat
memunculkan teori-teori tentang dirinya.
|
5.
|
Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa
dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir
pelajaran dengan cara testing.
|
Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin
di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal
yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
|
6.
|
Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa
ada group proses dalam belajar
|
Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam
group proses.
|
Karakteristik
pembelajaran yang harus dilakukan adalah:
1.
Membebaskan siswa dari belenggu
kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah diterapkan, dan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
2.
Menempatkan siswa sebaagai kekuatan
timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya,
kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat
kesimpulan-kesimpulan.
3.
Guru bersama-sama siswa mengkaji
pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, dimana terdapat macam-macam
pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
4.
Guru mengakui bahwa proses belajar
serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar di pahami, tidak
teratur, dan tidak mudah di kelola.
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Dari
beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa
dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi
atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Mustaji,2009. Teori dan model pembelajaran.unesa university press,Surabaya
2.
Sirianto.2009.http://surianto200477.wordpress.com/2009/09/17/teori-pembelajaran-konstruktivisme/. DIUNDUH 16
– Maret – 2011
3.
Budiningsih, C.A. 2005. Belajar Dan Pembelajaran. Cet. Ke-1. Jakarta: PT
Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar