Senin, 17 Maret 2014

Otonomi Daerah


BAB I

PENDAHULUAN

1.1              LATAR BELAKANG

Otonomi berasal dari dua kata :auto berarti sendiri,nomos berarti rumah tangga atau urusan pemerintahan. Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri. Dengan mendampingkan kata otonomi dengan kata Daerah, maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri.

            Berdasarkan Keputusan Mendagri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi menjadi dasar pengelolaan semua potensi daerah yang ada dan dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh daerah yang mendapatkan hak otonomi dari daerah pusat. Kesempatan ini sangat menguntungkan bagi daerah-daerah yang memiliki potensi alam yang besar untuk dapat mengelola daerah sendiri secara mandiri, dengan peraturan pemerintah yang dulunya mengalokasikan hasil hasil daerah 75% untuk pusat dan 25% untuk dikembalikan kedaerah membuat daerah-daerah baik tingkat I maupun daerah tingkat II sulit untuk mengembangkan potensi daerahnya baik secara ekonomi maupun budaya dan pariwisata.

Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim orde baru mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran (daerah).

Daerah yang kaya akan sumber daya alam ditarik keuntungan produksinya dan dibagi-bagi di antara elite Jakarta. Alih-alih diinvestasikan untuk pembangunan daerah. Akibatnya, pembangunan antara didaerah dan di Jakarta menjadi timpang.

B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden pasca-Orde Baru membuat kebijakan politik baru yang merubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah atau yang biasa disebut desentralisasi. Dengan terbitnya Undang-Undang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti Aceh, Riau dan Papua menuntut merdeka dan ingin berpisah dari republik Indonesia.

 

1.2              POKOK PERMASALAHAN

Yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

                                i.            Bagaimana perangkat hukum di Indonesia mengatur mengenai permasalahan otonomi daerah?

                              ii.            Dampak apakah yang timbul dari pemberlakuan sistem otonomi daerah?

 

 


 

BAB II

OTONOMI DAERAH, PERATURAN DAN PELAKSANAANNYA

2.1       DASAR HUKUM OTONOMI DAERAH

Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintah daerah dalam bab VI, yaitu pasal 18, pasal 18A, dan pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang.

Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi.

Secara khusu, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan defenisi otonomi daerah sebagai berikut.

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut.

“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sitem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat didaerah dan/atau kepada insyansi vertikal di wilayah tertentu.

Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem ekonomi daerah, dibentuk pula perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).

Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis” di realisasikan melaului Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun 2005).

 

2.2       PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

            Pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa perubahan politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa sebelumnya DPRD hanya sebagai stempel karet dan kedudukannya dibawah legislatifm setelah otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih besar, bahkan dapat memberhentikan kepala daerah.

Pemberlakuan otonomi daerah beserta akibatnya memang amat perlu dicermati. Tidak saja memindahkan potensi korupsi dari Jakarta ke daerah, otonomi daerah juga memunculkan raja-raja kecil yang mempersubur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Disamping itu, dengan adanya otonomi daerah, arogansi DPRD semakin tidak terkendali karena mereka merupakan representasi elite lokal yang berpengaruh. Karena perannya itu, ditengah suasana demokrasi yang belum terbangun di tingkat lokal, DPRD akan menjadi kekuatan politik baru yang sangat rentan terhadap korupsi.

Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004, publik seharusnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Namun, dibeberapa daerah yang sudah mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Pengambilan keputusan belum melibatkan publik dan masih berada dilingkaran elite lokal provinsu dan kabupaten/kota. Belum terlibatnya publik dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah (perda).

Sebagai contoh dari kenyataan tersebut, sejak pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Sumatra Utara, telah membuat 43 perda. Dari 43 perda itu, sebagian berkaitan dengan peningkatan pendapatan daerah, yaitu tentang retribusi dan pajak. Pembuatan perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa untuk dibahas di DPRD. Biasanya, DPRD tinggal mengesahkan saja. Setelah dilakukan pengesahan, perda-perda itu baru disosialisasikan di publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang cukup produktif dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan publik yang mereka berikan.

Otonomi daerah, dilain pihak, memperkenalkan kecendrungan baru, yaitu banyaknya lembaga sosial masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi konflik, perbedaan etnis, dan masalah sosial-ekonomi dengan bantuan minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah lokal juga mencoba mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas. Untuk mengatasi masalah asimilasi, pada awal 1970-an, Presiden Soeharto membentuk Badan Kesatuan Bangsa dan Pembaruan Masyarakat (BKBPM), dan setelah reformasi, mengubah namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa (BKB). Badan ini memberikan dana kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk menjalankan program asimilasi dan membangkitkan sensitif suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dan saling pengertian antarkelompok minoritas. Program BKB juga menggunakan LSM dan aparat pemerintah dalam membangun program asimilasi kebudayaan dan kelompok etnis plural.

Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang den kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada didaerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.


 

BAB III

PENUTUP

3.1       KESIMPULAN

Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut

a.                Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai perangkat hukum yang mengatur pemerintah daerah sesuai amanat UUD 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) yang mengatur secara jelas pemberlakuan otonomi daerah.

b.                Dalam sistem otonomi daerah dikenal istilah-istilah yang amat penting dalam pelaksanaannya, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

c.                Pemberlakuan sistem ekonomi daerah telah membawa perubahan politik di tingkat lokal, hal ini memberikan dampak positif maupun dampak negatif.

3.2       SARAN

Pemerintah pusat tetap harus mengatur dan menjalankan urusan dibeberapa sektor ditingkat kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah lokal punya kapaitas dan mekanisme bagi pengaturan hukum tambahan atas bidang-bidang tertentu.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Jamil. Ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal. Jakarta: LP3ES, 2005.

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun 2004

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, No. 33 tahun 2004

Indonesia, Peraturan Pemerintahan Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 6 tahun 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar