BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Otonomi
berasal dari dua kata :auto berarti sendiri,nomos berarti rumah tangga atau
urusan pemerintahan. Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga
sendiri. Dengan mendampingkan kata otonomi dengan kata Daerah, maka istilah
“mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari
pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah
sendiri.
Berdasarkan Keputusan Mendagri dan
Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja
Perangkat Daerah Provinsi menjadi dasar pengelolaan semua potensi daerah yang
ada dan dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh daerah yang mendapatkan hak
otonomi dari daerah pusat. Kesempatan ini sangat menguntungkan bagi
daerah-daerah yang memiliki potensi alam yang besar untuk dapat mengelola
daerah sendiri secara mandiri, dengan peraturan pemerintah yang dulunya
mengalokasikan hasil hasil daerah 75% untuk pusat dan 25% untuk dikembalikan
kedaerah membuat daerah-daerah baik tingkat I maupun daerah tingkat II sulit
untuk mengembangkan potensi daerahnya baik secara ekonomi maupun budaya dan
pariwisata.
Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat Negara
Republik Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi
perpanjangan tangan kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat). Dengan kata lain,
rezim orde baru mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak
pusat bukan pinggiran (daerah).
Daerah yang kaya akan sumber daya alam ditarik keuntungan
produksinya dan dibagi-bagi di antara elite Jakarta. Alih-alih diinvestasikan
untuk pembangunan daerah. Akibatnya, pembangunan antara didaerah dan di Jakarta
menjadi timpang.
B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden
pasca-Orde Baru membuat kebijakan politik baru yang merubah hubungan kekuasaan
pusat dan daerah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Otonomi Daerah atau yang biasa disebut desentralisasi. Dengan
terbitnya Undang-Undang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada
Jakarta dan tidak lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti
Aceh, Riau dan Papua menuntut merdeka dan ingin berpisah dari republik
Indonesia.
1.2
POKOK PERMASALAHAN
Yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut.
i.
Bagaimana
perangkat hukum di Indonesia mengatur mengenai permasalahan otonomi daerah?
ii.
Dampak
apakah yang timbul dari pemberlakuan sistem otonomi daerah?
BAB II
OTONOMI
DAERAH, PERATURAN DAN PELAKSANAANNYA
2.1 DASAR HUKUM OTONOMI DAERAH
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) Amandemen kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang
yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945
pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintah daerah dalam bab VI,
yaitu pasal 18, pasal 18A, dan pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri
tertulis secara umum dalam pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh
Undang-Undang.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat
(5) tertulis, “pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali
urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi.
Secara khusu, pemerintahan daerah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena
dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan
tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah maka aturan baru pun dibentuk untuk
menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri
mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan defenisi otonomi daerah sebagai
berikut.
“Otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.”
UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom
sebagai berikut.
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sitem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.”
Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang
pemerintah oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
didaerah dan/atau kepada insyansi vertikal di wilayah tertentu.
Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari
pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu.
Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem ekonomi daerah,
dibentuk pula perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).
Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa,
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis” di realisasikan
melaului Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor
6 Tahun 2005).
2.2 PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
Pelaksanaan
otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa perubahan
politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya peran Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa sebelumnya DPRD hanya sebagai
stempel karet dan kedudukannya dibawah legislatifm setelah otonomi daerah,
peran legislatif menjadi lebih besar, bahkan dapat memberhentikan kepala
daerah.
Pemberlakuan otonomi daerah beserta akibatnya memang amat
perlu dicermati. Tidak saja memindahkan potensi korupsi dari Jakarta ke daerah,
otonomi daerah juga memunculkan raja-raja kecil yang mempersubur korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Disamping itu, dengan adanya otonomi daerah, arogansi
DPRD semakin tidak terkendali karena mereka merupakan representasi elite lokal
yang berpengaruh. Karena perannya itu, ditengah suasana demokrasi yang belum terbangun
di tingkat lokal, DPRD akan menjadi kekuatan politik baru yang sangat rentan
terhadap korupsi.
Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004, publik
seharusnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Namun, dibeberapa daerah yang
sudah mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan.
Pengambilan keputusan belum melibatkan publik dan masih berada dilingkaran
elite lokal provinsu dan kabupaten/kota. Belum terlibatnya publik dalam
pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah (perda).
Sebagai contoh dari kenyataan tersebut, sejak pelaksanaan
otonomi daerah, pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Sumatra Utara,
telah membuat 43 perda. Dari 43 perda itu, sebagian berkaitan dengan
peningkatan pendapatan daerah, yaitu tentang retribusi dan pajak. Pembuatan perda
semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa untuk dibahas di DPRD.
Biasanya, DPRD tinggal mengesahkan saja. Setelah dilakukan pengesahan,
perda-perda itu baru disosialisasikan di publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang cukup
produktif dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan publik
yang mereka berikan.
Otonomi daerah, dilain pihak, memperkenalkan kecendrungan
baru, yaitu banyaknya lembaga sosial masyarakat baru yang bertujuan untuk
mengatasi konflik, perbedaan etnis, dan masalah sosial-ekonomi dengan bantuan
minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah lokal juga mencoba mengadopsikan
peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas. Untuk mengatasi
masalah asimilasi, pada awal 1970-an, Presiden Soeharto membentuk Badan Kesatuan
Bangsa dan Pembaruan Masyarakat (BKBPM), dan setelah reformasi, mengubah
namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa (BKB). Badan ini memberikan dana kepada
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk menjalankan program
asimilasi dan membangkitkan sensitif suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)
dan saling pengertian antarkelompok minoritas. Program BKB juga menggunakan LSM
dan aparat pemerintah dalam membangun program asimilasi kebudayaan dan kelompok
etnis plural.
Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan
kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang den
kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam
menghadapi masalah yang berada didaerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh
lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah
pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah
serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang
dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut
a.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia mempunyai perangkat hukum yang mengatur pemerintah
daerah sesuai amanat UUD 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) yang mengatur secara jelas
pemberlakuan otonomi daerah.
b.
Dalam
sistem otonomi daerah dikenal istilah-istilah yang amat penting dalam
pelaksanaannya, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
c.
Pemberlakuan
sistem ekonomi daerah telah membawa perubahan politik di tingkat lokal, hal ini
memberikan dampak positif maupun dampak negatif.
3.2 SARAN
Pemerintah pusat tetap harus mengatur dan menjalankan
urusan dibeberapa sektor ditingkat kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah
lokal punya kapaitas dan mekanisme bagi pengaturan hukum tambahan atas
bidang-bidang tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Jamil. Ed., Desentralisasi Globalisasi dan
Demokrasi Lokal. Jakarta: LP3ES, 2005.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No.
32 Tahun 2004
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perimbangan Keuangan
antara pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, No. 33 tahun 2004
Indonesia, Peraturan Pemerintahan Tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, PP No. 6 tahun 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar